Di suatu sore di bulan Agustus, jalanan Cihampelas–Bandung–dibasahi gerimis kecil dari awan-awan hitam yang menggantung di atasnya. Jalanan tetap dipenuhi dengan alunan deru mesin yang menggema, sesekali diikuti pekikan klakson yang selalu membuat hati meradang. Hari itu selayaknya hari-hari lainnya di Bandung, lembab dan dingin. Tampak tidak terlalu banyak pengguna trotoar di manapun mata memandang, beberapa terlihat tengah berteduh di balik bayang-bayang tenda pertokoan yang berbaris di sepanjang jalan tersebut.
Dari kejauhan tampak sepasang kaki berlari menembus butiran air yang mulai berat. Postman bag nya mengayun kesana kemari, tampak seperti bandul yang tidak beraturan. Kedua tangannya sibuk memayungi kepala dengan jaket parasut, bertuliskan sebuah merk berlogo bintang. Langkahnya yang berat memercikkan air tiap terangkat. Tiba-tiba, sebuah suara mendengung dari balik tasnya. Sebuah panggilan. Ia pun terhenti di bawah sebuah halte yang kosong dan renta, dan mulai mengaduk-aduk isi tasnya setelah meletakkan jaketnya di kursi halte.
“Halo?” Ucapnya sesaat setelah ia menemukan dan dengan hitungan detik meletakkannya di salah satu telinganya. Tidak ada jawaban, yang ada hanya suara-suara gaduh. Setelah mematikan panggilan tadi, Ia segera menelpon kembali sang penelpon tadi. “Halo, Wisnu nih . Apa? Oh lo udah sampe, pantesan berisik. Gue udah deket ko, ujan nih ga ada angkot dari kosan gw.” Jawabnya singkat. “Oke, tunggu ya Yur!” Lanjutnya setelah beberapa saat hening. Ia pun mematikan hp-nya dan memasukkan kembali ke dalam tas yang mulai basah itu. “Kenapa ga ada angkot ya?” Ia pun bergumam di dalam hati. Setelah mempertimbangkan perjalanan yang akan semakin basah di hadapannya, menunggu angkot lewat adalah pertimbangan yang terbaik. Dan Ia pun akhirnya menunggu di balik bayang-bayang halte.
4 Menit pun berlalu, tanpa angkot. Hanya ditemani suara hujan.
Ia terus terduduk di sana, sendiri, hingga sesosok bocah berlari di bawah siraman hujan datang dengan memikul beberapa cobek di pundaknya. Bocah itu tampak basah dan letih, dan Ia pun terduduk di halte setelah mengatur cobek-cobek berat itu pada trotoar di hadapannya. Wisnu dan sang bocah saling terdiam, memandang jalanan yang dipenuhi berbagai kendaraan di hadapannya.
Tiba-tiba terdengar kembali suara dari balik tas Wisnu, namun kali ini berbeda dan lebih pendek. Ternyata itu sebuah sms, dan Ia pun mengetik dengan cepat seraya tersenyum kecut melihat isi pesan yang ada di layar hp. Tanpa Ia ketahui, sang bocah memandanginya pada saat itu. “Wah a’, hapenya bagus eui! Hape apa itu a’? BB ya?’ Dengan polos Ia bertanya seraya memandangi tangan Wisnu yang menggenggam hapenya.
“Bukan, ini bukan BB.” Wisnu menjawab dingin. Kewajaran dari sikap penduduk urban muncul di mukanya.
“O kirain BB, abis bagus bgt! Kan yang paling bagus sekarang BB ya a’!” Katanya. “Oiya, mau beli cobeknya a’? Belum ada yang kejual nih a’ hari ini, bantuin aja.” Tawarnya singkat.
“Gak deh de’, lagi ga ada uang.” Jawab Wisnu lebih singkat.
“Satu aja a’, buat oleh-oleh kalo pulang ke Jakarta. Bantuin aja a’ belom ada uang buat beli buku sekolah nih.”
“Lain kali aja ya de’, bener-bener ga ada uang nih.” Jawab Wisnu yang sebenarnya terganggu namun mulai melunak saat melihat si Bocah yang basah dan letih. Namun Ia tetap menolak untuk membeli dagangannya.
Mereka pun kembali saling terdiam. Si Bocah terlalu letih untuk tetap merayu Wisnu membeli dagangannya, dan Wisnu pun mulai tidak sabar menunggu angkot yang belum muncul selama Ia menunggu. Kendaraan demi kendaraan berlalu dengan dingin di hadapan mereka, meninggalkan jejak-jejak air yang mengering.
Mungkin Wisnu bosan menunggu, mungkin juga sang Bocah memang ramah terhadap orang asing, pada akhirnya mereka pun terlibat pembicaraan. Dimulai dari sekolah, rumah, orangtua, teman, dan kemudian hal-hal remeh yang wajar diobrolkan oleh mereka yang baru kenal. “Itu hapenya berapaan a’? Bagus ya, pasti bisa buat foto-fotoan gitu ya a’?” Tanyanya sederhana.
“Ah kalo cuma buat foto sih biasa, masih kalah sama iphone ato BB. Kalo ada uang lebih, gue juga mau ganti nih.” Jawab Wisnu singkat.
Kemudian obrolan mereka berpindah saat sebuah mobil jazz lewat di hadapan mereka. “Wah keren ya a’ mobilnya, kenceng tuh kayaknya mobilnya. Aku sih seringnya naik mobil kayak gitu, gaenak jalannya.” Seraya menunjuk sebuah mobil carry tua yang diparkir di kejauhan.
“Mobil kayak gitu sih biasa, kalo mobil yang itu baru kenceng tuh.” Jawab Wisnu seraya menunjuk sebuah BMW yang muncul di salah satu belokan. “Keren kan? Coba ada yang mau beliin.” Canda Wisnu yang di balas senyuman si Bocah. Si Bocah bahkan mengamini dengan candaan bahwa nanti Wisnu akan memiliki BMW.
Sang Bocah pun kembali bertanya. “Emang aa’ mau kemana? Rapih banget.”
“Cuma mau ke Ciwalk ko, ada temen yang nungguin. Nih gara-gara ujan, terus ga ada angkot, ga sampe-sampe ke Ciwalknya padahal udah deket.” Jawab Wisnu diiringi tawa kecil.
“Iya nih Bandung kalo udah ujan emang gini a’.” Si Bocah pun tertawa kecil. “Ntar temen aa’ gamau jalan lagi ma aa’ kalo basah gitu.” Ia melanjutkan dengan candaan.
“Tadi pagi sekolah?” Tanya Wisnu seraya melanjutkan obrolan mereka. Tanpa disadari, Wisnu sudah tidak terlalu mempermasalahkan angkot yang tidak kunjung datang.
“Nggak a’, abis bosen di sekolah.” Jawab si Bocah di barengi dengan tawa nakal. “Mendingan jualan cobek, uangnya nanti bisa buat jajan.” Ia pun melanjutkan tawanya.
“Wah nakal lo ya!” Canda Wisnu. “Kecil-kecil udah berani cabut-cabutan.” Dan mereka berdua pun tertawa.
Mereka pun terus berbincang dan bercanda ringan, hingga akhirnya sebuah angkot pun lewat. Reflek, Wisnu memanggil angkot tersebut yang disambut dengan lampu sen kiri angkot tersebut. “Duluan ya de’.” dan tanpa ada pikiran apa-apa, Ia segera naik ke angkot tersebut. Sang Bocah hanya tersenyum memandang angkot yang mulai menjauh tersebut, dan Ia pun kembali memandangi hujan di hadapannya.
Ciwalk sudah di depan mata, namun entah kenapa hati Wisnu tiba-tiba berubah menjadi berat. Entah siapa yang menyentil hatinya, namun sekarang otaknya kembali me-rewind perbincangan tadi dengan sudut pandang yang berbeda.
Bagaimana bisa Ia berpikir HP nya kurang bagus, padahal ada yang terpesona kecanggihannya.
Bagaimana bisa Ia berpikir memiliki BMW, saat seorang tidak pernah merasakan nikmat mobil pribadi.
Bagaimana bisa Ia menggerutu tidak sampai di Ciwalk hanya karena angkot dan hujan, sedangkan masih ada yang tidak bisa kesana karena tidak mampu.
Bagaimana bisa siswa-siswa lain melarikan diri dari rutinitas sekolah untuk bersenang-senang, sedangkan salah satu teman mereka melarikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bagaimana bisa orang asing mengasihini dirinya karena terguyur hujan dan rusak kerapihannya, padahal dirinya tidak mengasihani seorang anak yang sendirian dibawah hujan dengan cobeknya
Bagaimana perbincangannya tadi tidak sepanjang perbincangan yang biasa Ia lakukan di telepon, namun sangat berat.
Bagaimana dunia bisa sangat menyenangkan, namun memilukan di sisi lainnya.
Angkot itu terhenti, dan berpasang-pasang kaki turun di depan Ciwalk yang terguyur hujan. Langkah-langkah mereka sangat cepat, mencoba menghindari butiran-butiran yang semakin berat tiap detiknya. Namun sepasang kaki terdiam di sana, di depan angkot yang mulai bergerak menjauhi. Langkah itu mulai bergerak, cepat, namun lebih berat. Wisnu kembali mengangkat jaketnya, melindungi kepalanya dari hujan. Namun, entah kenapa air menetes jatuh dari balik jaket. Tersembunyi di balik langkahnya yang cepat.
Sepertinya, hujan mulai deras di hati Wisnu.